Cerita ini terinspirasi dari film yang saya tonton. Judulnya adalah To Liong To (Golok Naga Sakti). Dalam cerita ini dikisahkan tentang tokoh pemuda sakti berbudi mulya yang bernama Tio Bu Kie. Tio Bu Kie adalah cucu murid dari perguruan Bu Tong Pay (Partai Golok Terbang) yang terusir dari perguruan itu karena rekayasa dari saudara-saudara seperguruannya. Tio Sam Ong, sang kakek gurunya, betapapun menyayangi Tio Bu Kie, harus rela melepaskan cucu muridnya dari pengasuhannya itu. Dalam pengelanaannya, akhirnya Tio Bu Kie memperoleh jurus Matahari yang sangat langka dan tak terkalahkan.
Pada suatu saat perguruan Bu Tong Pay diserbu oleh pasukan Chin yang dipimpin oleh Tio Beng. Kondisi Bu Tong Pay sudah terdesak, apalagi Tio Sam Ong terluka akibat penghianatan dari salah seorang cucu muridnya. Dalam keadaan terdesak itulah muncul Tio Bu Kie dengan jurus Mataharinya membalik keadaan. Melihat keadaan itulah, maka Tio Beng yang cerdik, menyatakan bahwa pertempuran yang terjadi adalah antara Chin dengan Bu Tong Pay, yang tak boleh dicampuri pihak lain. Sehingga Tio Bu Kie yang memakai jurus Matahari tidak berhak bertarung untuk Bu Tong Pay. Tapi Tio Sam Ong, kakek gurunya tak kehilangan akal. Kemudian pada saat itu juga diajarkan pada Tio Bu Kie, ilmu silat TaiChi yang belum pernah diajarkan pada murid-muridnya. Maka Tio Bu Kie meniru gerakan jurus yang diajarkan kakeknya sekaligus menghadapi musuhnya. Ternyata dalam beberapa gebrakan Tio Bu Kie tersungkur. Kakek gurunya dengan sabar mengulang jurusnya, dan ditanya kepada Tio Bu Kie, "Hai, Bu Kie… berapa jurs yang kau ingat?" Maka Tio Bu Kie menjawab," aku hanya ingat setengahnya saja!" Tio Sam Ong Tersenyum, lalu katanya," Lanjutkan pertarungan!" Maka Tio Bu Kie pun melanjutkan pertarungan, tetapi tak lama kemudian ia tersungkur. Tio Sam Ong mengulang kembali jurus TaiChi-nya, sedangkan Tio Bu Kie yang telah kelelahan hanya mampu melihat. Setelah selesai memperagakan jurusnya, Tio Sang Ong bertanya,"Hai Bu Kie, berapa jurus yang kau ingat?" Bu Kie hanya menjawab,"Tak ada satupun yang ku ingat!" Lalu Tio Sam Ong bertanya lagi," Hai, Bu Kie… siapa nama orang tuamu?" Dan Tio Bu Kie menjawab,"aku sudah tak ingat siapa nama mereka!" Maka dengan tersenyum lebar, Tio Sam Ong berkata," Bagus! Majulah kau sekarang…"
Maka Tio Bu Kie-pun maju. Dan ajaib, dengan mudah ia menjatuhkan musuh-musuhnya memakai jurus TaiChi yang baru saja dipelajarinya.
Ajaib sekali, karena dengan tidak ingatnya ia pada satupun jurus TaiChi, justru ia menjadi master TaiChi yang luar biasa. Mengapa itu bisa terjadi? Karena satu hal. Tio Bu Kie menggunakan jurus tersebut dengan penuh ketulusan, tanpa harus mengingat, jika diserang seperti ini harus menangkis seperti apa. Dia bergerak selaras dengan menyambut apa yang dating bukan dengan sesuatu yang telah direncanakan secara terlatih, tetapi sesuatu yang justru muncul begitu saja dari hatinya dan menggerakan seluruh tubuhnya. Ia bereaksi sesuai dengan aksi yang datang mengahapirinya.
Sekarang saya coba menggabungkannya dengan masalah-masalah interpersonal yang sering terjadi pada kita. Terkadang hubungan kita dengan orang lain, entah itu teman ataupun klien menjadi terhambat akibat reaksi kita. Misalkan, pada suatu saat datang teman kita, lalu dia bertanya, apakah kita bisa membantu sebentar untuk suatu urusan. Maka mungkin reaksi yang kita munculkan adalah jawaban - wah…kawan…aku sekarang sedang sibuk sekali, nanti kalau aku sudah tidak sibuk, pasti aku bantu - sebagai bentuk reaksi penolakan kita walau, alasan itu hanya menutupi rasa malas kita. Mungkin mulut itu bisa berkata seperti ini, tetapi mata kita, ekspresi kita, tak kan mampu menutupi kepura-puraan kita. Maka biasanya jika ini terjadi berulang-ulang secara kumulatif akan mengakibatkan berakhirnya hubungan yang telah kita jalin.
Mungkin anda atau saya pada suatu saat didatangi oleh seorang klien. Setelah ngobrol-ngobrol kesana kemari ternyata ia tak membeli atau memakai jasa kita. Nah, pada keesokan harinya si klien muncul lagi ke kantor kita, maka dengan asal-asalan dan penuh basa-basi kita menjawab pertanyaan sembari mencari cara serta alasan yang tepat untuk mengusirnya dengan halus. Lalu si klien yang telah merasakan ke tidak tulusan kita akhirnya meninggalkan kita dengan kecewa, walaupun pada hari kedua ini sebetulnya dia ingin benar-benar yakin pada apa yang akan dibeli atau dipakainya. Lalu sebagai seorang penjual jasa atau produk, kitalah yang mengalami kekalahan.
Coba kita mengubah orientasi bisnis yang telah tertanam dalam otak kita, yaitu klien adalah raja yang siap kita peras habis hartanya, mejadi - siapapun yang datang, entah itu berkepentingan bisnis ataupun tidak, haruslah kita perlakukan sebagai sahabat yang pada suatu saat kita membutuhkan bantuannya, karena sekarang ia datang membutuhkan bantuan, maka kita harus bantu tanpa harus melihat isi kantongnya. Kita lupakan semangat time is money, karena yang akan muncul kepermukaan apabila itu yang kita tanam dalam jiwa kita adalah senyum bisnis, tanpa ada ketulusan. Mungkin harus kita ingat bahwa benefit bukanlah dalam bentuk uang saja, benefit dapat berupa hubungan, bahkan rasa terima kasih yang muncul dari klien kita. Biarlah wajah tulus menghiasi diri kita, janganlah berpura-pura lagi, karena ketulusan itu hanyalah dapat muncul dari hati yang tulus pula.